HARMACEUTICAL CARE DALAM PRAKTEK FARMASI KLINIK
SEBAGAI PERUBAHAN PARADIGMA KEFARMASIAN
MAKALAH
Oleh:
La Ode Samsul
F-14020
AKADEMI FARMASI SANDI KARSA
MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR
Rasa syukur Alhamdulillah yang sedalam-dalamnya kami
panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena hanya dengan rahmat dan
petunjukNyalah kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.Menyadari akan keterbatasan kemampuan kami, maka dalam hal ini saya mengharap kritik dan saran membangun.
Mudah-mudahan hasil dari tugas makalah ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi kita sekalian, amin.
Makassar, Januari 2017
P e n u l i s
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telah terjadi perubahan paradigma farmasi yang mendasar dalam dekade terkahir, yaitu perubahan paradigma dari product oriented menjadi patient oriented. Tuntutan pada paradigma patient oriented,
farmasis tidak hanya berorientasi hanya kepada produk, namun juga
dituntut untuk berorientasi kepada pasien, sehingga diharapkan farmasis
dapat memberikan kontribusi keilmuannya secara aktif dalam meningkatkan
kualitas hidup pasien. Secara historis, perkembangan farmasi global
melalui tahapan-tahapan periode. Tahap tradisional terjadi sebelum tahun
1940-an dimana fungsi dan peranan farmasis hanya berorientasi kepada
produk, seperti kegiatan menyediakan, membuat dan mendistribusikan obat.
Kegiatan ini menekankan pada ilmu dan seni meracik obat dalam skala
kecil untuk kebutuhan pengobatan di rumah sakit ataupun di komunitas.Tahap
ini mulai goyah ketika mulai berkembangnya farmasi industri yang
memproduksi obat dalam skala besar. Periode tersebut terjadi sekitar
tahun 1940-an, dimana peresepan tidak lagi menekankan pada obat-obatan
yang membutuhkan peracikan, namun peresapan berisikan obat-obatan dalam
sediaan jadi yang diproduksi oleh industri farmasi dalam skala besar.
Semakin berkembangnya ilmu kedokteran
pada tahun 1960 hingga 1970-an ditandai dengan mulai bermunculan
berbagai jenis obat-obatan baru serta berkembangnya metode dan alat-alat
diagnosa yang baru sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan baru
dalam proses penggunaan obat. Hal tersebut memunculkan tahapan
transisional, dimana tuntutan terhadap kontribusi farmasis dalam dunia
kesehatan semakin tinggi. Pada masa tersebut banyak kalangan memandang
bahwa peran farmasis tidak difungsikan sebagaimana kompetensi yang
dimilikinya, sehingga di Amerika dan Inggris pada tahun 1960-an muncul
istilah farmasi klinik.
Periode awal famasi klinik ditunjukkan
dengan adanya farmasis yang mulai mengembangkan fungsi-fungsi baru dan
mencoba menerapkannya, sebagai contoh adalah dimulainya kegiatan
farmasis bangsal yang menempatkan farmasis di bangsal-bangsal rawat inap
untuk memberikan kontribusi keilmuannya dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup pasien, meskipun kontribusi tersebut masih dirasakan
terbatas. Penerapan fungsi-fungsi baru pada masa itu bukanlah tanpa
kendala, kendala yang ditemui diantaranya adalah banyaknya pertentangan
dari dokter, perawat dan farmasis, namun terdapat pula faksi-faksi yang
mendukung fungsi-fungsi baru tersebut untuk terus dilakukan dan
dikembanngkan.
Kegigihan dan semangat untuk menjawab
tuntutan berbagai kalangan mengenai peran farmasis ditunjukkan dari masa
ke masa, sehingga lahirlah periode Pharmaceutical care dimana clinical pharmacy services diberikan dengan semakin baik dan paripurna.
Periode Pharmaceutical Care ditunjukkan
dengan berkembangnya pendidikan tinggi farmasi yang berbasiskan farmasi
klinik. Hal tersebut ditandai dengan munculnya pendidikan farmasi
klinik yang sifatnya spesialistik, contohnya farmasi klinik spesialis
penyakit infeksi, kardiologi, onkologi, pelayanan informasi obat dan
lain lain. Kehadiran farmasis berkeahlian klinik di negara-negara maju
makin dirasakan sangat penting, mengingat makin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi dibidang kesehatan. Penanganan pasien
dilakukan melalui sebuah tim multi profesi kesehatan yang meliputi,
dokter, farmasis, perawat dan tenaga kesehatan lainnya . Adanya sinergi
keilmuan lintas profesi yang baik diantara profesi kesehatan dalam
penanganan pasien, akan memberikan dampak yang baik bagi outcome clinic pasien yang ditanganinya.
1.2 Rumusan Masalah- Pergeseran paradigma seperti apa yang terjadi dalam kefarmasian?
- Apa yang di maksud dengan Farmasi Klinik?
- Apa yang dimaksud dengan pharmaceutical care?
- Apa fakta yang terjadi di masyarakat mengenai perubahan paradigma kefarmasian?
- Mengetahui bentuk pergeseran paradigma yang terjadi dalam kefarmasian
- Mengetahui apa yang di maksud dengan Farmasi Klinik
- Mengetahui apa yang dimaksud dengan pharmaceutical care
- Mengetahui fakta yang terjadi di masyarakat tentang perubahan paradigma kefarmasian
PEMBAHASAN
Pergeseran paradigma kefarmasian dari
“Drug Oriented” menjadi “Patient Oriented” merupakan sebuah hal yang
mesti direspon positif oleh semua kalangan, baik itu pemerintah,
farmasis maupun masyarakat. Perubahan paradigma ini melahirkan sebuah
produk yang dinamakan dengan “Pharmaceutical Care”.
Paradigma baru yang dimunculkan oleh ISFI
adalah TATAP atau Tiada Apoteker Tiada Pelayanan. Tapi hal ini
memunculkan ketidaksamaan pandangan dan memunculkan beberapa pendapat.
Pendapat pertama adalah 100% setuju dari beberapa apoteker, tanpa
menentang paradigma tersebut. Jika tidak ada tenaga kerja apoteker dalam
suatu apotek, maka apotek tersebut dilarang untuk menjalankan bisnis
penyaluran, penjualan atau melakukan distribusi obat ke masyarakat.
Pendapat kedua adalah mereka yang beraliran moderat, dalam arti setuju
tapi dengan beberapa pengecualian. Pengecualian tersebut adalah apotek
boleh menjalankan usahanya, akan tetapi dilarang untuk melakukan
kegiatan kefarmasian, seperti menulis kopi resep dari seorang dokter.
Pendapat ketiga adalah mereka 100% tidak setuju terhadap paradigma baru
yang dimunculkan ISFI ini. Kesimpulannya, pendapat ini masih belum
disepakati sepenuhnya oleh para apoteker di Indonesia. Untuk menerapkan
TATAP kepada apoteker, para apoteker harus mengubah pola pikir yang
telah digunakan sampai saat ini. Apoteker datang ke apotek bukan untuk
bekerja, tetapi menjalankan profesi.
2.2. Farmasi Klinik
Clinical Resources and Audit Group (1996) mendefinisikan farmasi klinik sebagai “ A
discipline concerned with the application of pharmaceutical expertise
to help maximise drug efficacy and minimize drug toxicity in individual
patients”. Menurut Siregar (2004) farmasi klinik didefinisikan
sebagai suatu keahlian khas ilmu kesehatan yang bertanggung jawab untuk
memastikan penggunaan obat yang aman dan sesuai dengan kebutuhan
pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai fungsi
terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan khusus
dan atau pelatihan yang terstruktur. Berdasarkan definisi tersebut,
dapat dirumuskan tujuan farmasi klinik yaitu memaksimalkan efek
terapeutik, meminimalkan resiko/toksisitas obat, meminimalkan biaya dan
menghormati pilihan pasien.
Kegiatan farmasi klinik tidak hanya
memberikan saran professional pada saat peresepan saja namun kegiatan
farmasi klinik mencakup kegiatan sebelum persepan, saat persepan dan
setelah peresepan. Kegiatan farmasi klinik sebelum peresepan meliputi
setiap kegiatan yang mempengaruhi kebijakan peresepan, seperti
penyusunan formularium rumah sakit, mendukung informasi dalam menetapkan
kebijakan peresepan rumah sakit, evaluasi obat. Kegiatan farmasi klinik
selama peresapan contohnya adalah memberikan saran profesional kepada
dokter atau tenaga kesehatan lainnya terkait dengan terapi pada saat
peresepan sedang dilakukan. Sedangkan kegiatan farmasi klinik sesudah
peresepan yaitu setiap kegiatan yang berfokus kepada pengoreksian dan
penyempurnaan peresepan, seperti monitoring DRPs, monitoring efek
obat, outcome research dan Drug Use Evaluation (DUE).
Farmasis klinik berperan dalam mengidentifikasi adanya Drug Related Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs)
adalah suatu kejadian atau situasi yang menyangkut terapi obat, yang
mempengaruhi secara potensial atau aktual hasil akhir pasien. Menurut
Koda-Kimble (2005), DRPs diklasifikasikan, sebagai berikut :
- Kebutuhan akan obat (drug needed)
- Obat diindikasikan tetapi tidak diresepkan
- Problem medis sudah jelas tetapi tidak diterapi
- Obat yang diresepkan benar, tetapi tidak digunakan (non compliance)
- Tidak ada problem medis yang jelas untuk penggunaan suatu obat
- Obat tidak sesuai dengan problem medis yang ada
- Problem medis dapat sembuh sendiri tanpa diberi obat duplikasi terapi
- Obat mahal, tetapi ada alternatif yang lebih murah
- Obat tidak ada diformularium
- Pemberian tidak memperhitungkan kondisi pasien
- Dosis terlalu tinggi
- Penggunaan yang berlebihan oleh pasien (over compliance)
- Dosis terlalu rendah
- Penggunaan yang kurang oleh pasien (under compliance)
- Ketidaktepatan interval dosis
- Ketidaktepatan obat (wrong/inappropriate drug)
- Ketidaktepatan dosis (wrong / inappropriate dose)
- Efek buruk obat (adverse drug reaction)
- Efek samping
- Alergi
- Obat memicu kerusakan tubuh
- Obat memicu perubahan nilai pemeriksaan laboratorium
- Interaksi antara obat dengan obat/herbal
- Interaksi obat dengan makanan
- Interaksi obat dengan pengujian laboratorium
- Interaksi obat (drug interaction)
Secara garis besar kegiatan farmasi
klinik meliputi pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, pelayanan
farmasi di bangsal, pelayanan informasi obat, penelitian dan
pengembangan. Kegiatan farmasi klinik memiliki karakteristik, antara
lain : berorientsi kepada pasien; terlibat langsung dalam perawatan
pasien; bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan
dimulai atau memberikan informasi jika diperlukan; bersifat aktif,
dengan memberikan masukan kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya
terkait dengan pengobatan pasien; bertanggung jawab terhadap setiap
saran yang diberikan; menjadi mitra sejajar dengan profesi kesehatan
lainnya (dokter, perawat dan tenga kesehatan lainnya). Keterampilan
dalam melakukan praktek farmasi klinik memerlukan pemahaman keilmuan,
seperti :
- Konsep-konsep penyakit (anatomi dan fisiologi manusia, patofisiologi, patogenesis)
- Penatalaksanaan Penyakit (farmakologi, farmakoterapi dan product knowledge)
- Teknik komunikasi dan konseling
- Pemahaman Evidence Based Medicine (EBM) dan kemampuan melakukan penelusurannya
- Keilmuan farmasi praktis lainnya.
2.3 Pharmaceutical care
Secara sederhananya, pharmaceutical care
merupakan sebuah bentuk optimalisasi peran apoteker dalam melakukan
terapi obat pada pasien guna meningkatkan derajat kesehatan pasien itu
sendiri. Hal ini berarti mengubah bentuk pekerjaan apoteker yang semula
hanya berada di belakang layar menjadi sebuah profesi yang langsung
bersentuhan dengan pasien.
Perubahan ini juga berarti bahwa
pekerjaan apoteker tidak lagi hanya meracik dan menyerahkan obat saja
kepada pasien, tetapi bertanggung jawab juga terhadap terapi yang
diberikan kepada pasien. Hal ini berarti pekerjaan kefarmasian di era patient oriented
ini jika terlaksana dalam sebuah sistem kesehatan nasional maka
dipastikan akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Karena kompetensi apoteker menjamin keselamatan pasien dalam hal
penggunaan obat.
2.4 Fakta yang terjadi di Masyarakat
Perubahan paradigma ini bukan berarti
tidak menimbulkan permasalahan. Ada hal-hal yang menjadi penyebab
sulitnya menerapkan konsep pharmaceutical care dalam dunia
kefarmasian Indonesia, di antaranya adalah ketidaksiapan kompetensi
apoteker untuk langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Hal ini disebabkan oleh kurikulum
perguruan tinggi farmasi yang belum mendukung ke arah ini. Selama ini,
kurikulum pendidikan tinggi farmasi kebanyakan mengarah kepada kurikulum
industri ataupun pengembangan bahan alam. Namun di era pharmaceutical care saat
ini, kurikulum perguruan tinggi farmasi yang ingin mengabdi di ranah
pelayanan dituntut berubah ke arah klinis. Perubahan ini sudah dimulai
secara perlahan, namun memang masih jauh dari kesempurnaan. Tetapi
setidaknya titik terang menuju kejayaan kefarmasian sudah terlihat dari
hari ini.
Karena untuk menciptakan sebuah derajat
kesehatan masyarakat Indonesia, dibutuhkan sebuah sistem kesehatan
nasional yang melibatkan peran peran multi disiplin ilmu: dokter,
apoteker, perawat, asisten apoteker, ahli gizi dan sebagainya. Kesemua
disiplin ini bekerja secara interpersonal, artinya saling ada koordinasi
yang mesti terjalin dalam sebuah pelayanan. Contohnya, komunikasi
antara apoteker dengan dokter, apoteker dengan perawat, dokter dengan
ahli gizi dan sebagainya.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 KesimpulanDari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
- Pergeseran paradigma kefarmasian yang terjadi adalah perubahan paradigm dari “Drug Oriented” menjadi “Patient Oriented” yang merupakan sebuah hal yang mesti direspon positif oleh semua kalangan
- Farmasi klinik adalah suatu keahlian khas ilmu kesehatan yang bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat yang aman dan sesuai dengan kebutuhan pasien, melalui penerapan pengetahuan dan berbagai fungsi terspesialisasi dalam perawatan pasien yang memerlukan pendidikan khusus dan atau pelatihan yang terstruktur
- Pharmaceutical care adalah sebuah bentuk optimalisasi peran apoteker dalam melakukan terapi obat pada pasien guna meningkatkan derajat kesehatan pasien itu sendiri.
- Kenyataan di masyarakat saat ini tentang perubahan paradigma tersebut adalah sulitnya menerapkan konsep pharmaceutical care dalam dunia kefarmasian Indonesia, di antaranya adalah ketidaksiapan kompetensi apoteker untuk langsung bersentuhan dengan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Era Baru Dunia Kefarmasian Indonesia. (Online). Tersedia:http://majalahkesehatan.com/era-baru-dunia-kefarmasian-indonesia/html. (18/10/2013. 15:03 pm).
Anonim.2012. Paradigma Baru Pola Fikir Baru. (online). Tersedia:
http://www.ikatanapotekerindonesia.net/pharmacy-news/32-pharmaceutical information/379-paradigma-baru-pola-pikir-baru.html.(18/10/2013.15.20 pm).
Anonim.2012. Pharmaceutical Care. (online). Tersedia:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar